BERJUANG dan MENANG

Kamis, 25 Februari 2010

Keluargaku, Bangsaku

Melihat kepolitikan Indonesia harus dimulai dari melihat keluarga. Hal ini dikatakan oleh peneliti dan akademisi asal Jepang, Saya Siraishi. Dalam bukunya, Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik (1997) Siraishi menggunakan alegori untuk menggambarkan kelahiran Orde Baru seperti pemunculan seorang Bapak dalam sebuah keluarga. Kemudian kepolitikan Orde Baru dipertahankan dengan menggunakan kerangka hubungan-hubungan antara ayah-ibu dan anak. Siraishi bertindak lebih jauh dengan melihat peran anak jalanan dalam penelitiannya ini. Namun kerangka yang digunakannya amat berguna untuk melihat bagaimana gagasan tentang keluarga ini beroperasi dalam membentuk kepolitikan Indonesia dalam berbagai tingkatan.

Karena keluarga kemudian menjadi lokus bagi narasi nasional. Pembentukan sikap-sikap politik, pandangan terhadap otoritas, penerimaan dan penolakan terhadap kritik dan segala macam hubungan sosial dalam konteks negara orde baru dibangun di atas landasan pemahaman tentang keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah sebuah bentuk hubungan sosial yang dilandasi pernikahan antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual) dengan jumlah anak yang direncanakan. Penggambaran kampanye keluarga berencana di masa Orde Baru sangat mewakili hal tersebut: ibu + ayah dengan dua anak (laki-laki perempuan sama saja, yang penting kasih sayang).

Bentuk keluarga batih homoseksual ini kemudian disosialisasikan secara ekstensif lewat berbagai media, terutama televisi. Peneliti Philip Kitley (2000) yang melihat bagaimana bentuk keluarga batih heteroseksual tak hanya dirayakan tetapi juga dijadikan eksemplar bagi model bersikap para anggota keluarga Indonesia. Serial TV Keluarga Rahmat yang diamati dalam penelitian Kitley menekankan pada empat wacana penting yang muncul terus menerus bersilangan dalam kadar berganti-ganti. Empat wacana tersebut adalah kekeluargaan, kerukunan, hidup sederhana dan wawasan nusantara. Wacana ini kemudian digunakan untuk memperluas hubungan-hubungan keluarga itu untuk hubungan yang sesungguhnya jauh dan tidak akrab. Siraishi juga melihat perluasan hubungan keluarga ini ke dalam hubungan yang lebih luas, misalnya dalam istilah penggunaan “anak buah”, yang jelas sekali bersifat paternalistik. Dari penjelasan Kitley ini, tampak bahwa keluarga telah berperan sebagai lokus sandaran narasi pembentukan kepolitikan di Indonesia masa Orde Baru.

Salah satu bentuk narasi itu adalah sinema. Keluarga sebagai lokus narasi merupakan sesuatu yang demikian masif diterima dalam sinema Indonesia. Karl Heider (1991) menyebutkan salah satu sub-genre dari genre film drama dalah drama keluarga. Sub-genre lainnya adalah drama remaja. Pada sub-genre terakhir ini, latar belakang keluarga sangat kuat, umumnya memberi landasan bagi konflik seperti larangan / ketidaksetujuan orang tua dalam hubungan percintaan antar tokoh. Keluarga berguna untuk mendukung terbentuknya konflik, sama kuatnya dengan pengaruh peer group pada individu.

Lokus ini muncul juga pada film dengan gambaran nasionalisme, Garuda di Dadaku (Ifa Isfansyah) dan King (Ari Sihasale). Keduanya menjadikan keluarga sebagai lokus bagi narasi mereka, khususnya pada perkembangan individu dan kaitannya dengan gagasan tentang kebangsaan. Dengan melihat pada peran keluarga seperti gambaran Siraishi dan Kitley di atas, hal ini tak mengherankan. Gagasan mengenai keluarga-bangsa sebagai eksemplar masih kuat. Sikap-sikap individu, terutama yang berkaitan dengan kolektivitas bernama negara bangsa, sampai saat ini hanya bisa dimengerti dalam konteks keluarga. Paling tidak, lokus bagi narasi kebangsaan itu masih terjadi dalam keluarga. Keluarga masih mendominasi narasi semacam ini, kecuali dalam model-model narasi krisis (perang dan pasca perang misalnya), barulah individu (secara bersama) bisa menghela gagasan keluarga bangsa (dan nasionalisme) itu.

Garuda dan King mentransformasi aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif kebangsaan. Bahkan aspirasi negara bangsa itu diterjemahkan oleh kedua film menjadi nasionalisme dengan penggunaan simbol-simbol nasional sebagai bentuk pencapaian. Yang menarik dari kedua hal ini adalah peran perantara (intermediary) dari berbagai elemen yang membuat transformasi itu terjadi. Beberapa faktor perantara itu adalah: aktor dan lingkungan. Namun di atas itu semua, seluruh narasi dibangun di atas lokus keluarga, dan inilah yang akan dilihat pertamakali sebelum kita bicara mengenai faktor perantara tersebut.

Keluarga
Tampaknya bukan kebetulan ketika kedua film ini terjadi pada keluarga berorangtua tunggal (single parent). Dalam tulisan saya (2005), single parent sudah menjadi fenomena yang sangat lazim digambarkan dalam film Indonesia. Namun dalam Garuda dan King terdapat fenomena yang unik yaitu idealisasi terhadap konsep keluarga batih yang terdiri dari ayah+ibu+anak. Selalu ada dialog “seandainya ayah / ibu masih ada..” yang menempatkan orangtua tunggal sebagai sebuah kondisi tak ideal. Maka konflik yang disebabkan kekakuan komunikasi (King) dan kesulitan ekonomi (Garuda) adalah buah dari keluarga yang tak lengkap itu. Asumsi kedua film: seandainya keluarga mereka lengkap, tidak akan muncul persoalan dalam hubungan-hubungan mereka (dan karenanya pencapaian cita-cita kebangsaan mereka).

Dalam hal ini, menarik untuk mengamati bagaimana para pembuat King dan Garuda tidak mempertanyakan keluarga batih heteroseksual dan malahan meromantisirnya. Bandingkan misalnya dengan Teguh Karya yang justru memperlihatkan keluarga utuh (bahkan keluarga besar) justru adalah sumber masalah bagi individu. Ide ini bahkan didorong ke titik ekstrim oleh pembuat film muda, Edwin. Jika dibandingkan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Teguh Karya atau Edwin misalnya, King dan Garuda adalah bentuk konservatisme[1] dalam memandang institusi keluarga tak semata sebagai lokus narasi, tetapi juga pembentuk dan agensi pencapai tujuan-tujuan kebangsaan. Kepercayaan ini sedikit banyaknya sejajar belaka dengan kampanye Orde Baru yang menekankan pentingnya keluarga sebagai sarana pembentukan sikap berbangsa.

Selanjutnya, individu yang membawa aspirasi dalam kedua film adalah anak-anak. Bukan sekadar tokoh anak (yang akan diposisikan bertentangan dengan ayah atau ibu, sekalipun sang tokoh sudah dewasa), kedua film menjadikan aspirasi kehidupan kolektif ini berada pada pundak anak-anak. Hal ini bukan kebetulan mengingat anak-anak adalah wakil dari ketidakternodaan narasi perjuangan nasionalisme yang tak harus dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan politik (tentu hasil konstruksi orang dewasa).

Anak-anak adalah wakil dari sebuah bentuk perjuangan nasionalisme yang tampak tulus, murni dan tak punya kepentingan politik. Hal ini serupa dengan anonimitas pahlawan tak dikenal di makam-makam pahlawan (yang digunakan oleh film Nagabonar Jadi 2). Anonimitas pahlawan tak dikenal, sebagaimana dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991), merupakan sebuah eksemplar dari pejuang nasionalisme yang bertujuan mendaku nasionalisme sebagai sesuatu yang asali, sejak semula ada dalam konteks negara bangsa itu, tentu guna memunculkan legitimasi bagi pembentukan negara nasional itu sejak semula. Maka penggunaan anak-anak adalah untuk menciptakan eksemplar itu guna meyakinkan bahwa perjuangan nasionalisme para individu di Indonesia ini bersifat murni dan tak berkepentingan politik.

Faktor Aspirasi
Yang paling menarik dari Garuda dan King justru adalah faktor perantara yang bekerja mentransformasi keinginan individu ini menjadi aspirasi kolektif (dan kemudian nasionalisme). Faktor perantara pertama adalah pemindahan fungsi pengasuhan kepada entitas komersial. Garuda menempatkan sekolah sepakbola Arsenal cabang Indonesia (Soccer School of Indonesia) untuk menempati posisi pengasuh. Lewat SSI inilah ketidaklengkapan keluarga batih itu digantikan perannya, dan cita-cita nasionalisme bisa mendapatkan jalan. Dalam konteks aspirasi individual sebagai penggerak cerita, Garuda menggunakan aspirasi Bayu untuk memakai simbol burung garuda di dadanya, sebuah lambang tim sepakbola nasional yang juga menjadi lambang kebangsaan. Kepentingan penggunaan simbol nasional itu sebenarnya bukan merupakan hal esensial dalam konteks keberhasilannya. Dengan latar belakang keluarga miskin, keberhasilan bersekolah di SSI dengan beasiswa saja sudah merupakan sebuah capaian individu yang penting. Pada titik ini, sebenarnya peer group Bayu saja sudah cukup untuk menjadi perantara bagi pencapaian aspirasinya.

Tapi capaian individu itu tak cukup, dan aspirasi itu harus berubah menjadi aspirasi kebangsaan. Capaian aspirasi individual saja mungkin cukup tanpa membutuhkan adanya SSI, tetapi apabila Bayu ingin menjadi bagian dari tim nasional yang menjalankan aspirasi kolektif negara bangsa, ia harus menjalani pengasuhan oleh SSI. Maka peran SSI, sekolah sepakbola global berbasis di London, menjadi sesuatu yang esensial dalam konteks pencapaian aspirasi kolektif manusia Indonesia dalam Garuda di Dadaku dan bukan sekolah sepakbola Persija, misalnya.

Dalam King, menarik sekali bahwa aspirasi individual tak pernah berdiri terpisah dari aspirasi kolektif komunal. Keluarga yang tak lengkap itu digantikan dulu perannya oleh komunitas tempat tinggal Guntur yang memang gemar olahraga bulutangkis. Peran sang guru (Ario Wahab) dalam pencapaian aspirasi Guntur menempatkan komunitas juga berperan, dan bukan hanya keluarga single parent dan peer group. Keberadaan perantara komunal inilah yang tak ada pada Garuda. Perbedaan-perbedaan ini bisa dijelaskan dalam faktor perantara dalam narasi ini, yaitu lingkungan.

Lingkungan Urban
Perbedaan ini terjadi tak lepas dari faktor perantara lain: lingkungan. Kedua anak ini besar dan tumbuh di lingkungan berbeda. Bayu tinggal dan tumbuh di kampung di perkotaan. Ibunya seorang pekerja swa-usaha multi-level-marketing, sementara ayahnya sudah meninggal. Kakeknya tinggal bersamanya dan menginginkan Bayu menjadi apa saja, selain pemain sepakbola. Apakah bukan kebetulan jika kemudian sang kakek ingin menjadikan Bayu sebagai seniman?

Yang terpenting dari keberhasilan Bayu adalah peer group-nya, seorang anak orang kaya yang tinggal di rumah gedong dan diantar mobil ke sekolah. Anak ini harus berjalan di kursi roda dan dengan demikian ia tak bisa memenuhi hasratnya untuk menjadi pemain sepakbola. Ia hanya bisa memakai berbagai macam asesori sepakbola dan memindahkan obsesinya pada anak berbakat. Ia juga memberi berbagai fasilitas pada anak itu agar bisa mencapai cita-citanya. Lewat berbagai intervensi anak inilah akhirnya Bayu berhasil bersekolah di SSI.

Namun aspirasi Bayu bukan bersekolah di SSI, melainkan untuk memakai lambang Garuda di dadanya. Maka sejak awal, peer group itu tidak akan pernah cukup dan peran SSI menjadi esensial dalam narasi film agar aspirasi individu itu tercapai. Maka SSI sebagai sebuah bagian dari entitas korporasi global memakai nama Indonesia (bayangkan nama ini: Soccer School of Indonesia, sekolah sepakbola Indonesia) menjadi perantara bagi aspirasi nasional seorang anak tak berkepentingan politik berusia pra-remaja.

Dalam konteks Indonesia tahun 2000-an, keberadaan agensi global seperti SSI dan dakuan mereka terhadap ke-Indonesiaan mereka, sama sekali tak terhindarkan. Pertama, agensi atau perantara global dalam pembentukan negara bangsa dan nasionalisme adalah hal yang selalu diperhitungkan. Namun peran mereka yang sangat esensial seperti ini ditampilkan secara positif tanpa kritisisme sama sekali adalah sebuah perubahan besar dalam cara pandang terhadap negara bangsa dan segala aktor-aktor pembentuk nasionalisme. Belum pernah narasi tentang nasonalisme dikaitkan secara esensial dan demikian positif dengan sebuah entitas global yang beroperasi dengan dakuan yang demikian juga esensial.

Kedua, peran menentukan ini bisa jadi muncul mengingat absennya peran semacam pada agensi lokal. Dalam konteks kehidupan urban kota Jakarta hal ini mungkin tak terhindarkan mengingat tak adanya klub lokal yang dipromosikan besar-besaran di tingkat nasional. Tak ada pemain nasional yang lebih banyak dibicarakan ketimbang Christiano Ronaldo atau Kaka’ oleh lembaran olahraga media massa. Tak ada tontonan liga sepakbola lokal yang lebih ditunggu ketimbang Manchester United melawan Liverpool. Artinya, di tingkat sosiologis, ada dasar bagi representasi yang dilakukan oleh Garuda. Namun mengingat reprsentasi adalah pilihan, maka sikap Garuda terhadap faktor asing dalam pencapaian cita-cita kolektif ini makin jelas.

Lingkungan Agraris
Sedangkan Guntur pada King tinggal di kawasan agraris, dimana tampak sekali bahwa penduduknya hidup dari sektor pertanian. Bulu tangkis adalah sebuah sarana pemersatu komunitas. Ia menjadi titik sentral kehidupan komunitas karena letaknya di tengah kampung. Pekerjaan ayah Guntur menjadi pengumpul bulu angsa sekaligus komentator pertandingan bulu tangkis kampung itu menjadi sentral dari kehidupan komunal. Maka aspirasi Guntur kemudian dengan mudah menjadi aspirasi komunal. Keinginan Guntur untuk bersekolah bulu tangkis di PB Djarum pelan-pelan diterima menjadi aspirasi bersama, dan banyak anggota komunitas yang turut serta membantu jalan Guntur untuk bisa mencapai aspirasi itu.

Aspirasi Guntur terhenti pada belajar di sekolah PB Djarum. Ia memang mengidolakan Liem Swie King (yang pernah juga bersekolah di PB Djarum) dan ingin menjadi seorang yang berpresetasi internasional dan “mengharumkan nama bangsa”. Namun Guntur tidak sejak awal menginginkan sesuatu sejenis “memakai lambang Garuda di dada.” Jika ada, aspirasi semacam itu justru milik ayahnya yang terus memakai jaket bulu tangkis tim nasional Indonesia. Maka pada King, nasionalisme itu menjadi milik keluarga ketimbang milik individu.

Pencapaian cita-cita individu itu kemudian dikatalisasi oleh kehidupan komunal. Latihan dan fasilitas yang digunakan oleh Guntur untuk berlatih di PB Djarum diberikan oleh banyak orang dalam lingkungannya. Raket dipinjamkan oleh pak guru teman berlatih Guntur, sementara tumpangan Guntur diberi oleh pemilik usaha angkutan di kampung itu. Di sini, usaha pencapaian aspirasi individual terlaksana akibat dukungan komunitas.

Posisi PB Djarum dalam film ini esensial sebagai sebuah cita-cita, tetapi ia tak se-esensial SSI dalam sarana pencapaian cita-cita negara bangsa. Kemenangan-kemenangan Guntur dalam berbagai kejuaraan bulu tangkis internasional sesudah ia bersekolah di PB Djarum tampak sebagai sesuatu yang alamiah dan sudah seharusnya terjadi mengingat PB Djarum merupakan salah satu sekolah bulu tangkis yang menghasilkan paling banyak pemain bulu tangkis dengan prestasi internasional. Sifat alamiah ini akhirnya mengemukakan kesejajaran antara gagasan negara bangsa sebagai kelanjutan alamiah dari komunalitas. PB Djarum dilihat sebagai sebuah sarana transformasi komunal, ketimbang sebagai sarana yang mentransformasikan aspirasi individu seperti misalnya SSI di Garuda.

Nasionalisme jadi tampak lebih alamiah di King. Ia menjadi kepanjangan dari komunalisme agraris. Keluarga juga berada dalam ranah yang alamiah itu. Di film ini, gambaran mengenai lingkungan komunal sebagai perluasan dari keluarga batih juga tampak berlangsung secara alamiah. Fungsi-fungsi pengasuhan disebar ke berbagai anggota komunitas. Sedangkan pada Garuda, nasionalisme dipaksakan menjadi aspirasi individual. Dan hal ini esensial dalam plot film. Keluarga batih juga tak sanggup menjalankan peran membawa gagasan ini. Keberhasilan aspirasi itu sepenuhnya tergantung pada filantropisme orang kaya plus pengasuhan yang dijalankan oleh lembaga pendidikan olahraga global.

Kedua film ini kemudian menjadi tipikal dalam menggambarkan lingkungan para tokohnya sebagaimana disigi oleh Krishna Sen (1991). Kawasan perkotaan identik dengan orang kaya yang tinggal di rumah gedong, sementara di pedesaan, ikatan komunal masih kuat menjadi faktor pendorong bagi keberhasilan individual yang berlanjut ke keberhasilan negara bangsa. Hal ini bisa jadi bukan merupakan representasi yang keliru. Kedua film tampak berada pada wilayah stereotip bahwa pedesaan berarti komunalisme sedangkan perkotaan selalu berarti individualisme. Terasa ada romantisme (sekalipun manis) pada King dalam memandang komunalisme itu. Bandingkan soal komunalisme >< individualisme pada olahraga ini dengan Romeo Juliet (Andibachtiar Yusuf) yang mengangkat kehidupan komunal kaum urban pendukung kesebelasan Persija dan Persib. Stereotip bahwa urban selalu berarti individual sama sekali tidak berlaku. Juga romantisme bahwa komunalitas selalu berarti sesuatu yang produktif terhadap perkembangan individu juga dibantah dengan keras.

Kedua cerita juga tidak bersikap kritis terhadap entitas komersial itu, baik entitas lokal seperti PB Djarum maupun entitas global seperti SSI. Kedua film sama-sama mengelak dari mempersoalkan bahwa ada persoalan struktural yang mungkin dikandung oleh keberadaan kedua entitas modal tersebut. Posisi SSI dalam Garuda sudah dijelaskan di atas. Sedangkan narasi King tidak kritis terhadap perusahaan tembakau lokal raksasa. Padahal perusahaan tembakau secara umum sedang dicurigai soal keterlibatan mereka dalam olahraga. Posisi perusahaan tembakau dalam olahraga selalu dipandang sebagai usaha cucitangan dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh rokok. Bisa jadi PB Djarum memang punya sejarah panjang menghasilkan para pahlawan bulutangkis nasional. Tapi pilihan untuk menggambarkan keberhasilan para pahlawan muda lewat jalur berasap tetap problematis. Bukankah PB Djarum bisa diganti dengan perusak lingkungan atau pelaku pelanggaran HAM?

Tentu saja ada yang penting dari keberadaan entitas modal dan kepentingan internasional ini: sponsor. Keduanya secara komersial terlibat dalam pembuatan kedua film itu – dan itulah soalnya. Bisa jadi para pembuat film kita sudah melewati pertanyaan struktural dan memilih mengubah kepentingan modal lokal dan internasional menjadi kepentingan bersama demi memajukan industri film nasional sekaligus berpromosi (baca: jualan).

Jika dahulu narasi seperti militerisme (Sen, 1991) atau narasi patriarkal (Paramaditha, 2007) menjadi narasi besar yang tak dipertanyakan lagi kepentingannya dalam konteks membangun mitos negara bangsa, kini narasi itu berganti dengan peran modal besar dan arus kepentingan politik (olahraga) global. Sampai di sini, kita kembali pada fakta bahwa kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi-politik memang punya peran dalam menghasilkan apa yang ada di layar. Maka seperti halnya nasionalisme, filmmaking tak pernah semata-mata urusan teknis semisal memilih pemain atau lokasi, tetapi juga pemosisian pembuat film di tengah kekuatan sosial-ekonomi-politik. Inilah semacam ideologi baru nasionalisme Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

RAS MUHAMAD