BERJUANG dan MENANG

Sabtu, 30 Oktober 2010

Ribuan Orang Hadiri Proses Pemakaman Pemimpin Argentina, Nestor Kirchner



Buenos Aires: Meskipun hujan lebat mengguyur sepanjang hari, ribuan rakyat Argentina tetap turun ke jalan untuk mengikuti prosesi pemakaman mantan Presiden Argentina, Nestor Kirchner (29/10).

Sekitar pukul 13.20, waktu setempat, setelah ditempatkan selama 26 jam di Latin American Patriots Hall, caravan kendaraan meninggalkan istana kepresidenan menuju bandara.

Ribuan rakyat berkumpul di peristirahatan sementara sebelum jenazah diberangkatkan ke bandara, karena banyak rakyat yang tidak bisa menjangkau istana untuk menyatakan selamat jalan kepada Kirchner.

Jenazah Kirchner, yang juga Sekretaris Jenderal Uni negara-negara di Amerika Selatan (UNASUR), akan dimakamkan di Rio Gallegos, sekitar 2.360 kilometer dari ibukota negara.

Kirchner, 60 tahun, yang menjalani operasi bulan September karena gangguan jantung, meninggal dunia di kota El Calafate, Argentina selatan.

Istrinya, Christina Fernandez de Kirchner, adalah presiden Argentina sekarang ini.

Mantan Presiden Yang Populer

Ketika Kirchner terpilih sebagai presiden pada tahun 2003, ia hanya mengumpulkan dukungan sebanyak 23%. Setelah hampir dua puluh bulan menjabat di kursi kepresidenan, ia berhasil menaikkan dukungan menjadi 90%.

Andres Gaudin, seorang wartawan Uruguay yang melarikan diri ke Argentina, menjelaskan dengan baik faktor popularitas pemimpin peronis ini.

Kirchner tak membuang waktu. Sebelum memulai konfrontasi verbalnya dengan International Monetary Fund dan kreditor swasta tentang pembayaran hutang yang berjumlah lebih dari $165 milyar, ia berinisiatif menggalang dukungan dengan menguasai sektor-sektor sosial yang terbengkalai, demikian dipaparkan oleh Andres Gaudin.

“Ia bertemu muka dengan kelompok-kelompok HAM, menjadikannya presiden pertama selama dua dekade demokrasi yang melakukan hal tersebut,” katanya menambahkan.

Kirchner juga berhasil menarik kaum progresif dan intelektual dengan menghentikan kenaikan biaya pelayanan umum yang diprivatisasi pada tahun 1990an, dan dengan menghentikan hak-hak istimewa yang dinikmati perusahaan air minum dan kereta api sejak masa Menem.

Tindakan lainnya, dalam sektor ini, termasuk menghentikan konsesi Sistem Pos Argentina untuk secara efektif mengembalikannya ke kekuasaan negara, dan pembentukan perusahaan pemegang saham yang dijalankan negara di bidang penerbangan dan energi.

Upaya awal Kirchner yang paling populer adalah renovasi mendalam terhadap sistem kejaksaan dan, khususnya, Mahkamah Agung, yang selalu menjadi sumber korupsi dalam pemerintahan Menem.

Senin, 31 Mei 2010

Menggali Pancasila

Hari ini, 1 Juni 2010, kembali kita peringati hari kelahiran Pancasila. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan kali ini juga dilakukan secara resmi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan, menurut rencana, akan dihadiri pula oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Situasi ini bisa disebut "kemajuan", berhubung sejak masa rejim militeristik Soeharto, jejak kelahiran Pancasila digelapkan dari ingatan sejarah, khususnya dalam hubungan dengan gagasan-gagasan pencetusnya, Soekarno.

Selama itu pula, empat puluh lima tahun (1965-2010), atau lebih dari separuh umurnya, Pancasila telah diselewengkan. Wujud penyelewengan yang paling buruk terhadap Pancasila adalah dengan cara menyanjungnya setinggi langit, sambil membokonginya dalam praktik di bumi. Titik letus penyelewengan ini kita saksikan lewat teropong sejarah kelam tahun 1965: rejim militeristik Soeharto mendirikan "monumen pancasila sakti" sambil mengorganisir pembunuhan terhadap jutaan manusia yang dituduh komunis serta memenjarakan tanpa pengadilan ratusan ribu lainnya. Selanjutnya, rezim ini mewajibkan orang menghafal Pancasila beserta butir-butirnya sambil menggadai kekayaan alam kepada korporasi-korporasi asing. Rezim ini terus bicara keadilan sosial sambil membangun kerajaan-kerajaan bisnis keluarga untuk mengkorupsi milik dan keringat rakyat. Rezim ini menciptakan konflik horisontal lewat berbagai operasi intelejen dan pra kondisi ketidakadilan sosial. Rejim ini juga mengekang pikiran rakyat melalui monopoli propaganda dan kebudayaan, agar rakyat terus tunduk dan patuh, menjadi budak di negeri sendiri.

Permulaan oleh rejim Soeharto berlanjut hingga kini, dalam berbagai dimensi kehidupan. Bahkan di sekolah-sekolah bisa kita saksikan ‘teladan' tersebut: mengulang-ulang ucapan Pancasila, tapi lupakanlah makna dan praktiknya. Bangsa Indonesia pun kian menjauh dari cita-cita nasionalnya.

Sebelum 1 Juni 1945, Bung Karno telah berhubungan dengan beragam pemikiran besar dalam sejarah umat manusia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Selain menggali kearifan lokal, Bung Karno mengambil sari pati dari Declaration of Independence (Amerika Serikat), Manifesto Partai Komunis (Eropa), dan San Min Chu I (Tiongkok/Cina), untuk melahirkan rumusan ini.

Tantangan sekarang adalah menempatkan pemikiran besar tersebut dalam praktik. Abad 21 menyediakan situasi dan pengetahuan baru, yang sebagian telah berganti wujud permukaan. Namun "kebaruan" tersebut tidak menghapuskan kenyataan-kenyataan mendasar yang pernah digugat dalam sejarah revolusioner Indonesia. Kolonialisme dan korupsi merupakan bagian dari kenyataan prinsipil yang pernah digugat, tapi telah dibangkitkan oleh rejim militeristik Soeharto dan dipelihara hingga kini.

Generasi pasca orde baru, mestinya dapat melihat keberadaan Pancasila secara lebih jernih dan obyektif. Dalam waktu paling lama 20 tahun, Bung Karno berupaya membawa Pancasila menjadi panduan nilai yang revolusioner dan praktis, dengan menyimpulkannya dalam Eka Sila: Gotong Royong. Namun dalam 45 tahun orde-orde selanjutnya sekadar menaruh Pancasila sebagai "pajangan" yang terasing dari persoalan obyektif, sehingga kehilangan konteks. Padahal, sebesar-besarnya nilai dan pemikiran hanya akan tertinggal sebagai nilai dan pemikiran, bila tidak ada praktik yang menjawab persoalan obyektif.

Anda dapat berpartisipasi menanggapi editorial kami di email: redaksiberdikari@yahoo.com

Kamis, 25 Februari 2010

Keluargaku, Bangsaku

Melihat kepolitikan Indonesia harus dimulai dari melihat keluarga. Hal ini dikatakan oleh peneliti dan akademisi asal Jepang, Saya Siraishi. Dalam bukunya, Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik (1997) Siraishi menggunakan alegori untuk menggambarkan kelahiran Orde Baru seperti pemunculan seorang Bapak dalam sebuah keluarga. Kemudian kepolitikan Orde Baru dipertahankan dengan menggunakan kerangka hubungan-hubungan antara ayah-ibu dan anak. Siraishi bertindak lebih jauh dengan melihat peran anak jalanan dalam penelitiannya ini. Namun kerangka yang digunakannya amat berguna untuk melihat bagaimana gagasan tentang keluarga ini beroperasi dalam membentuk kepolitikan Indonesia dalam berbagai tingkatan.

Karena keluarga kemudian menjadi lokus bagi narasi nasional. Pembentukan sikap-sikap politik, pandangan terhadap otoritas, penerimaan dan penolakan terhadap kritik dan segala macam hubungan sosial dalam konteks negara orde baru dibangun di atas landasan pemahaman tentang keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah sebuah bentuk hubungan sosial yang dilandasi pernikahan antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual) dengan jumlah anak yang direncanakan. Penggambaran kampanye keluarga berencana di masa Orde Baru sangat mewakili hal tersebut: ibu + ayah dengan dua anak (laki-laki perempuan sama saja, yang penting kasih sayang).

Bentuk keluarga batih homoseksual ini kemudian disosialisasikan secara ekstensif lewat berbagai media, terutama televisi. Peneliti Philip Kitley (2000) yang melihat bagaimana bentuk keluarga batih heteroseksual tak hanya dirayakan tetapi juga dijadikan eksemplar bagi model bersikap para anggota keluarga Indonesia. Serial TV Keluarga Rahmat yang diamati dalam penelitian Kitley menekankan pada empat wacana penting yang muncul terus menerus bersilangan dalam kadar berganti-ganti. Empat wacana tersebut adalah kekeluargaan, kerukunan, hidup sederhana dan wawasan nusantara. Wacana ini kemudian digunakan untuk memperluas hubungan-hubungan keluarga itu untuk hubungan yang sesungguhnya jauh dan tidak akrab. Siraishi juga melihat perluasan hubungan keluarga ini ke dalam hubungan yang lebih luas, misalnya dalam istilah penggunaan “anak buah”, yang jelas sekali bersifat paternalistik. Dari penjelasan Kitley ini, tampak bahwa keluarga telah berperan sebagai lokus sandaran narasi pembentukan kepolitikan di Indonesia masa Orde Baru.

Salah satu bentuk narasi itu adalah sinema. Keluarga sebagai lokus narasi merupakan sesuatu yang demikian masif diterima dalam sinema Indonesia. Karl Heider (1991) menyebutkan salah satu sub-genre dari genre film drama dalah drama keluarga. Sub-genre lainnya adalah drama remaja. Pada sub-genre terakhir ini, latar belakang keluarga sangat kuat, umumnya memberi landasan bagi konflik seperti larangan / ketidaksetujuan orang tua dalam hubungan percintaan antar tokoh. Keluarga berguna untuk mendukung terbentuknya konflik, sama kuatnya dengan pengaruh peer group pada individu.

Lokus ini muncul juga pada film dengan gambaran nasionalisme, Garuda di Dadaku (Ifa Isfansyah) dan King (Ari Sihasale). Keduanya menjadikan keluarga sebagai lokus bagi narasi mereka, khususnya pada perkembangan individu dan kaitannya dengan gagasan tentang kebangsaan. Dengan melihat pada peran keluarga seperti gambaran Siraishi dan Kitley di atas, hal ini tak mengherankan. Gagasan mengenai keluarga-bangsa sebagai eksemplar masih kuat. Sikap-sikap individu, terutama yang berkaitan dengan kolektivitas bernama negara bangsa, sampai saat ini hanya bisa dimengerti dalam konteks keluarga. Paling tidak, lokus bagi narasi kebangsaan itu masih terjadi dalam keluarga. Keluarga masih mendominasi narasi semacam ini, kecuali dalam model-model narasi krisis (perang dan pasca perang misalnya), barulah individu (secara bersama) bisa menghela gagasan keluarga bangsa (dan nasionalisme) itu.

Garuda dan King mentransformasi aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif kebangsaan. Bahkan aspirasi negara bangsa itu diterjemahkan oleh kedua film menjadi nasionalisme dengan penggunaan simbol-simbol nasional sebagai bentuk pencapaian. Yang menarik dari kedua hal ini adalah peran perantara (intermediary) dari berbagai elemen yang membuat transformasi itu terjadi. Beberapa faktor perantara itu adalah: aktor dan lingkungan. Namun di atas itu semua, seluruh narasi dibangun di atas lokus keluarga, dan inilah yang akan dilihat pertamakali sebelum kita bicara mengenai faktor perantara tersebut.

Keluarga
Tampaknya bukan kebetulan ketika kedua film ini terjadi pada keluarga berorangtua tunggal (single parent). Dalam tulisan saya (2005), single parent sudah menjadi fenomena yang sangat lazim digambarkan dalam film Indonesia. Namun dalam Garuda dan King terdapat fenomena yang unik yaitu idealisasi terhadap konsep keluarga batih yang terdiri dari ayah+ibu+anak. Selalu ada dialog “seandainya ayah / ibu masih ada..” yang menempatkan orangtua tunggal sebagai sebuah kondisi tak ideal. Maka konflik yang disebabkan kekakuan komunikasi (King) dan kesulitan ekonomi (Garuda) adalah buah dari keluarga yang tak lengkap itu. Asumsi kedua film: seandainya keluarga mereka lengkap, tidak akan muncul persoalan dalam hubungan-hubungan mereka (dan karenanya pencapaian cita-cita kebangsaan mereka).

Dalam hal ini, menarik untuk mengamati bagaimana para pembuat King dan Garuda tidak mempertanyakan keluarga batih heteroseksual dan malahan meromantisirnya. Bandingkan misalnya dengan Teguh Karya yang justru memperlihatkan keluarga utuh (bahkan keluarga besar) justru adalah sumber masalah bagi individu. Ide ini bahkan didorong ke titik ekstrim oleh pembuat film muda, Edwin. Jika dibandingkan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Teguh Karya atau Edwin misalnya, King dan Garuda adalah bentuk konservatisme[1] dalam memandang institusi keluarga tak semata sebagai lokus narasi, tetapi juga pembentuk dan agensi pencapai tujuan-tujuan kebangsaan. Kepercayaan ini sedikit banyaknya sejajar belaka dengan kampanye Orde Baru yang menekankan pentingnya keluarga sebagai sarana pembentukan sikap berbangsa.

Selanjutnya, individu yang membawa aspirasi dalam kedua film adalah anak-anak. Bukan sekadar tokoh anak (yang akan diposisikan bertentangan dengan ayah atau ibu, sekalipun sang tokoh sudah dewasa), kedua film menjadikan aspirasi kehidupan kolektif ini berada pada pundak anak-anak. Hal ini bukan kebetulan mengingat anak-anak adalah wakil dari ketidakternodaan narasi perjuangan nasionalisme yang tak harus dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan politik (tentu hasil konstruksi orang dewasa).

Anak-anak adalah wakil dari sebuah bentuk perjuangan nasionalisme yang tampak tulus, murni dan tak punya kepentingan politik. Hal ini serupa dengan anonimitas pahlawan tak dikenal di makam-makam pahlawan (yang digunakan oleh film Nagabonar Jadi 2). Anonimitas pahlawan tak dikenal, sebagaimana dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991), merupakan sebuah eksemplar dari pejuang nasionalisme yang bertujuan mendaku nasionalisme sebagai sesuatu yang asali, sejak semula ada dalam konteks negara bangsa itu, tentu guna memunculkan legitimasi bagi pembentukan negara nasional itu sejak semula. Maka penggunaan anak-anak adalah untuk menciptakan eksemplar itu guna meyakinkan bahwa perjuangan nasionalisme para individu di Indonesia ini bersifat murni dan tak berkepentingan politik.

Faktor Aspirasi
Yang paling menarik dari Garuda dan King justru adalah faktor perantara yang bekerja mentransformasi keinginan individu ini menjadi aspirasi kolektif (dan kemudian nasionalisme). Faktor perantara pertama adalah pemindahan fungsi pengasuhan kepada entitas komersial. Garuda menempatkan sekolah sepakbola Arsenal cabang Indonesia (Soccer School of Indonesia) untuk menempati posisi pengasuh. Lewat SSI inilah ketidaklengkapan keluarga batih itu digantikan perannya, dan cita-cita nasionalisme bisa mendapatkan jalan. Dalam konteks aspirasi individual sebagai penggerak cerita, Garuda menggunakan aspirasi Bayu untuk memakai simbol burung garuda di dadanya, sebuah lambang tim sepakbola nasional yang juga menjadi lambang kebangsaan. Kepentingan penggunaan simbol nasional itu sebenarnya bukan merupakan hal esensial dalam konteks keberhasilannya. Dengan latar belakang keluarga miskin, keberhasilan bersekolah di SSI dengan beasiswa saja sudah merupakan sebuah capaian individu yang penting. Pada titik ini, sebenarnya peer group Bayu saja sudah cukup untuk menjadi perantara bagi pencapaian aspirasinya.

Tapi capaian individu itu tak cukup, dan aspirasi itu harus berubah menjadi aspirasi kebangsaan. Capaian aspirasi individual saja mungkin cukup tanpa membutuhkan adanya SSI, tetapi apabila Bayu ingin menjadi bagian dari tim nasional yang menjalankan aspirasi kolektif negara bangsa, ia harus menjalani pengasuhan oleh SSI. Maka peran SSI, sekolah sepakbola global berbasis di London, menjadi sesuatu yang esensial dalam konteks pencapaian aspirasi kolektif manusia Indonesia dalam Garuda di Dadaku dan bukan sekolah sepakbola Persija, misalnya.

Dalam King, menarik sekali bahwa aspirasi individual tak pernah berdiri terpisah dari aspirasi kolektif komunal. Keluarga yang tak lengkap itu digantikan dulu perannya oleh komunitas tempat tinggal Guntur yang memang gemar olahraga bulutangkis. Peran sang guru (Ario Wahab) dalam pencapaian aspirasi Guntur menempatkan komunitas juga berperan, dan bukan hanya keluarga single parent dan peer group. Keberadaan perantara komunal inilah yang tak ada pada Garuda. Perbedaan-perbedaan ini bisa dijelaskan dalam faktor perantara dalam narasi ini, yaitu lingkungan.

Lingkungan Urban
Perbedaan ini terjadi tak lepas dari faktor perantara lain: lingkungan. Kedua anak ini besar dan tumbuh di lingkungan berbeda. Bayu tinggal dan tumbuh di kampung di perkotaan. Ibunya seorang pekerja swa-usaha multi-level-marketing, sementara ayahnya sudah meninggal. Kakeknya tinggal bersamanya dan menginginkan Bayu menjadi apa saja, selain pemain sepakbola. Apakah bukan kebetulan jika kemudian sang kakek ingin menjadikan Bayu sebagai seniman?

Yang terpenting dari keberhasilan Bayu adalah peer group-nya, seorang anak orang kaya yang tinggal di rumah gedong dan diantar mobil ke sekolah. Anak ini harus berjalan di kursi roda dan dengan demikian ia tak bisa memenuhi hasratnya untuk menjadi pemain sepakbola. Ia hanya bisa memakai berbagai macam asesori sepakbola dan memindahkan obsesinya pada anak berbakat. Ia juga memberi berbagai fasilitas pada anak itu agar bisa mencapai cita-citanya. Lewat berbagai intervensi anak inilah akhirnya Bayu berhasil bersekolah di SSI.

Namun aspirasi Bayu bukan bersekolah di SSI, melainkan untuk memakai lambang Garuda di dadanya. Maka sejak awal, peer group itu tidak akan pernah cukup dan peran SSI menjadi esensial dalam narasi film agar aspirasi individu itu tercapai. Maka SSI sebagai sebuah bagian dari entitas korporasi global memakai nama Indonesia (bayangkan nama ini: Soccer School of Indonesia, sekolah sepakbola Indonesia) menjadi perantara bagi aspirasi nasional seorang anak tak berkepentingan politik berusia pra-remaja.

Dalam konteks Indonesia tahun 2000-an, keberadaan agensi global seperti SSI dan dakuan mereka terhadap ke-Indonesiaan mereka, sama sekali tak terhindarkan. Pertama, agensi atau perantara global dalam pembentukan negara bangsa dan nasionalisme adalah hal yang selalu diperhitungkan. Namun peran mereka yang sangat esensial seperti ini ditampilkan secara positif tanpa kritisisme sama sekali adalah sebuah perubahan besar dalam cara pandang terhadap negara bangsa dan segala aktor-aktor pembentuk nasionalisme. Belum pernah narasi tentang nasonalisme dikaitkan secara esensial dan demikian positif dengan sebuah entitas global yang beroperasi dengan dakuan yang demikian juga esensial.

Kedua, peran menentukan ini bisa jadi muncul mengingat absennya peran semacam pada agensi lokal. Dalam konteks kehidupan urban kota Jakarta hal ini mungkin tak terhindarkan mengingat tak adanya klub lokal yang dipromosikan besar-besaran di tingkat nasional. Tak ada pemain nasional yang lebih banyak dibicarakan ketimbang Christiano Ronaldo atau Kaka’ oleh lembaran olahraga media massa. Tak ada tontonan liga sepakbola lokal yang lebih ditunggu ketimbang Manchester United melawan Liverpool. Artinya, di tingkat sosiologis, ada dasar bagi representasi yang dilakukan oleh Garuda. Namun mengingat reprsentasi adalah pilihan, maka sikap Garuda terhadap faktor asing dalam pencapaian cita-cita kolektif ini makin jelas.

Lingkungan Agraris
Sedangkan Guntur pada King tinggal di kawasan agraris, dimana tampak sekali bahwa penduduknya hidup dari sektor pertanian. Bulu tangkis adalah sebuah sarana pemersatu komunitas. Ia menjadi titik sentral kehidupan komunitas karena letaknya di tengah kampung. Pekerjaan ayah Guntur menjadi pengumpul bulu angsa sekaligus komentator pertandingan bulu tangkis kampung itu menjadi sentral dari kehidupan komunal. Maka aspirasi Guntur kemudian dengan mudah menjadi aspirasi komunal. Keinginan Guntur untuk bersekolah bulu tangkis di PB Djarum pelan-pelan diterima menjadi aspirasi bersama, dan banyak anggota komunitas yang turut serta membantu jalan Guntur untuk bisa mencapai aspirasi itu.

Aspirasi Guntur terhenti pada belajar di sekolah PB Djarum. Ia memang mengidolakan Liem Swie King (yang pernah juga bersekolah di PB Djarum) dan ingin menjadi seorang yang berpresetasi internasional dan “mengharumkan nama bangsa”. Namun Guntur tidak sejak awal menginginkan sesuatu sejenis “memakai lambang Garuda di dada.” Jika ada, aspirasi semacam itu justru milik ayahnya yang terus memakai jaket bulu tangkis tim nasional Indonesia. Maka pada King, nasionalisme itu menjadi milik keluarga ketimbang milik individu.

Pencapaian cita-cita individu itu kemudian dikatalisasi oleh kehidupan komunal. Latihan dan fasilitas yang digunakan oleh Guntur untuk berlatih di PB Djarum diberikan oleh banyak orang dalam lingkungannya. Raket dipinjamkan oleh pak guru teman berlatih Guntur, sementara tumpangan Guntur diberi oleh pemilik usaha angkutan di kampung itu. Di sini, usaha pencapaian aspirasi individual terlaksana akibat dukungan komunitas.

Posisi PB Djarum dalam film ini esensial sebagai sebuah cita-cita, tetapi ia tak se-esensial SSI dalam sarana pencapaian cita-cita negara bangsa. Kemenangan-kemenangan Guntur dalam berbagai kejuaraan bulu tangkis internasional sesudah ia bersekolah di PB Djarum tampak sebagai sesuatu yang alamiah dan sudah seharusnya terjadi mengingat PB Djarum merupakan salah satu sekolah bulu tangkis yang menghasilkan paling banyak pemain bulu tangkis dengan prestasi internasional. Sifat alamiah ini akhirnya mengemukakan kesejajaran antara gagasan negara bangsa sebagai kelanjutan alamiah dari komunalitas. PB Djarum dilihat sebagai sebuah sarana transformasi komunal, ketimbang sebagai sarana yang mentransformasikan aspirasi individu seperti misalnya SSI di Garuda.

Nasionalisme jadi tampak lebih alamiah di King. Ia menjadi kepanjangan dari komunalisme agraris. Keluarga juga berada dalam ranah yang alamiah itu. Di film ini, gambaran mengenai lingkungan komunal sebagai perluasan dari keluarga batih juga tampak berlangsung secara alamiah. Fungsi-fungsi pengasuhan disebar ke berbagai anggota komunitas. Sedangkan pada Garuda, nasionalisme dipaksakan menjadi aspirasi individual. Dan hal ini esensial dalam plot film. Keluarga batih juga tak sanggup menjalankan peran membawa gagasan ini. Keberhasilan aspirasi itu sepenuhnya tergantung pada filantropisme orang kaya plus pengasuhan yang dijalankan oleh lembaga pendidikan olahraga global.

Kedua film ini kemudian menjadi tipikal dalam menggambarkan lingkungan para tokohnya sebagaimana disigi oleh Krishna Sen (1991). Kawasan perkotaan identik dengan orang kaya yang tinggal di rumah gedong, sementara di pedesaan, ikatan komunal masih kuat menjadi faktor pendorong bagi keberhasilan individual yang berlanjut ke keberhasilan negara bangsa. Hal ini bisa jadi bukan merupakan representasi yang keliru. Kedua film tampak berada pada wilayah stereotip bahwa pedesaan berarti komunalisme sedangkan perkotaan selalu berarti individualisme. Terasa ada romantisme (sekalipun manis) pada King dalam memandang komunalisme itu. Bandingkan soal komunalisme >< individualisme pada olahraga ini dengan Romeo Juliet (Andibachtiar Yusuf) yang mengangkat kehidupan komunal kaum urban pendukung kesebelasan Persija dan Persib. Stereotip bahwa urban selalu berarti individual sama sekali tidak berlaku. Juga romantisme bahwa komunalitas selalu berarti sesuatu yang produktif terhadap perkembangan individu juga dibantah dengan keras.

Kedua cerita juga tidak bersikap kritis terhadap entitas komersial itu, baik entitas lokal seperti PB Djarum maupun entitas global seperti SSI. Kedua film sama-sama mengelak dari mempersoalkan bahwa ada persoalan struktural yang mungkin dikandung oleh keberadaan kedua entitas modal tersebut. Posisi SSI dalam Garuda sudah dijelaskan di atas. Sedangkan narasi King tidak kritis terhadap perusahaan tembakau lokal raksasa. Padahal perusahaan tembakau secara umum sedang dicurigai soal keterlibatan mereka dalam olahraga. Posisi perusahaan tembakau dalam olahraga selalu dipandang sebagai usaha cucitangan dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh rokok. Bisa jadi PB Djarum memang punya sejarah panjang menghasilkan para pahlawan bulutangkis nasional. Tapi pilihan untuk menggambarkan keberhasilan para pahlawan muda lewat jalur berasap tetap problematis. Bukankah PB Djarum bisa diganti dengan perusak lingkungan atau pelaku pelanggaran HAM?

Tentu saja ada yang penting dari keberadaan entitas modal dan kepentingan internasional ini: sponsor. Keduanya secara komersial terlibat dalam pembuatan kedua film itu – dan itulah soalnya. Bisa jadi para pembuat film kita sudah melewati pertanyaan struktural dan memilih mengubah kepentingan modal lokal dan internasional menjadi kepentingan bersama demi memajukan industri film nasional sekaligus berpromosi (baca: jualan).

Jika dahulu narasi seperti militerisme (Sen, 1991) atau narasi patriarkal (Paramaditha, 2007) menjadi narasi besar yang tak dipertanyakan lagi kepentingannya dalam konteks membangun mitos negara bangsa, kini narasi itu berganti dengan peran modal besar dan arus kepentingan politik (olahraga) global. Sampai di sini, kita kembali pada fakta bahwa kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi-politik memang punya peran dalam menghasilkan apa yang ada di layar. Maka seperti halnya nasionalisme, filmmaking tak pernah semata-mata urusan teknis semisal memilih pemain atau lokasi, tetapi juga pemosisian pembuat film di tengah kekuatan sosial-ekonomi-politik. Inilah semacam ideologi baru nasionalisme Indonesia.

Selasa, 02 Februari 2010

Kebudayaan Nasional

1. Arti Kebudayaan

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal

Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

1.1 Definisi kebudayaan menurut para ahli

Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:

1. Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

2. M. Jacobs dan B.J. Stern

Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.

3. Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.

4. Dr. K. Kupper

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.

5. William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.

6. Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

7. Francis Merill

* Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial
* Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui interaksi simbolis.

8. Bounded et.al

Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya diantara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.

9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)

Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal.

10. Robert H Lowie

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.

11. Arkeolog R. Seokmono

Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.

1.2 Jenis-jenis Kebudayaan

1.2.1 Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan

jenis-jenisnya:

* Hidup-kebatinan manusia, yaitu sesuatu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya,pemerinta
han negeri, agama atau ilmu kebatinan
* Angan-angan manusia, yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan.
* Kepandaian manusia, yaitu sesuatu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah (Dewantara; 1994).

1.2.2 Kebudayaan berdasarkan wujudnya

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi

tiga,yaitu:

* Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

* Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

* Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

1.2.3 Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan

atas dua komponen utama:

* Kebudayaan material

Kebudayaan material adalah kebudayaan yang mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Contoh kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

* Kebudayaan nonmaterial

Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

1.2.4 Kebudayaan secara umum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

a. Kebudayaan Daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk – penduduk yang lain. Budaya daerah mulai terlihat berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan – kerajaan terdahulu. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial yang dilakukan masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu sama lain.

Dari pola kegiatan ekonomi kebudayaan daerah dikelompokan beberapa macam yaitu:

* Kebudayaan Pemburu dan Peramu

Kelompok kebudayaan pemburu dan peramu ini pada masa sekarang hampir tidak ada. Kelompok ini sekarang tinggal di daerah-daerah terpencil saja.

* Kebudayaan Peternak

Kelompok kebudayaan peternak/kebudayaan berpindah-pindah banyak dijumpai di daerah padang rumput.

* Kebudayaan Peladang

Kelompok kebudayaan peladang ini hidup di daerah hutan rimba. Mereka menebang pohon-pohon, membakar ranting, daun-daun dan dahan yang ditebang. Setelah bersih lalu ditanami berbagai macam tanaman pangan. Setelah dua atua tiga kali ditanami, kemudian ditinggalkan untuk membuka ladang baru di daerah lain.

* Kebudayaan Nelayan

Kelompok kebudayaan nelayan ini hidup di sepanjang pantai. Desa-desa nelayan umumnya terdapat di daerah muara sungai atau teluk. Kebudayaan nelayan ditandai kemampuan teknologi pembuatan kapal, pengetahuan cara-cara berlayar di laut, pembagian kerja nelayan laut.

* Kebudayaan Petani Pedesaan

Kelompok kebudayaan petani pedesaan ini menduduki bagian terbesar di dunia. Masyarakat petani ini merupakan kesatuan ekonomi, sosial budaya dan administratif yang besar. Sikap hidup gotong royong mewarnai kebudayaan petani pedesaan.

b. Kebudayaan Nasional adalah gabungan dari budaya daerah yang ada di Negara tersebut. Itu dimaksudkan budaya daerah yang mengalami asimilasi dan akulturasi dengan dareah lain di suatu Negara akan terus tumbuh dan berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan dari Negara tersebut. Misalkan daerah satu dengan yang lain memang berbeda, tetapi jika dapat menyatukan perbedaan tersebut maka akan terjadi budaya nasional yang kuat yang bisa berlaku di semua daerah di Negara tersebut walaupun tidak semuanya dan juga tidak mengesampingkan budaya daerah tersebut. Contohnya Pancasila sebagai dasar negara, Bahasa Indonesia dan Lagu Kebangsaan yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 12 Oktober 1928 yang diikuti oleh seluruh pemuda berbagai daerah di Indonesia yang membulatkan tekad untuk menyatukan Indonesia dengan menyamakan pola pikir bahwa Indonesia memang berbeda budaya tiap daerahnya tetapi tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan “bhineka tunggal ika”.

2. Definisi Kebudayaan Nasional

Kebudayaan Nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di Negara tersebut.

Kebudayaan Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti Kebudayaan Nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan Nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan Nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia (Suseno; 1992).

2.1 Kebudayaan nasional Indonesia

Bila dicermati pandangan masyarakat Indonesia tentang kebudayaan Indonesia, ada dua kelompok pandangan.

1.Kelompok pertama yang mengatakan kebudayaan Nasional Indonesia belum jelas, yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia itu sendiri sedang dalam proses pencarian.

2.Kelompok kedua yang mengatakan mengatakan Kebudayaan Nasional Indonesia sudah ada. pendukung kelompok ketiga ini antara lain adalah Sastrosupono. Sastrosupono. Sastrosupono. Sastrosupono mencontohkan, Pancasila, bahasa Indonesia, undang-undang dasar 1945, moderenisasi dan pembangunan (1982:68-72).

Adanya pandangan yang mengatakan Kebudayaan Nasional Indonesia belum ada atau sedang dalam proses mencari, boleh jadi akibat:

(1) tidak jelasnya konsep kebudayaan yang dianut dan pahami

(2) akibat pemahaman mereka tentang kebudayaan hanya misalnya sebatas seni, apakah itu seni sastra, tari, drama, musik, patung, lukis dan sebagainya. Mereka tidak memahami bahwa iptek, juga adalah produk manusia, dan ini termasuk ke dalam kebudayaan.

2.2 Akar Kebudayaan Indonesia

Akar kebudayaan Indonesia adalah suatu mekanisme yang terbentuk dari unsur-unsur yang berkaitan dengan zaman prasejarah,jadi ibarat pohon,pohon tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya akar,demikian pula dengan kebudayaan pada suatu Negara tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya akar atau pendahulu yang membentuk kebudayaan tersebut.

Akar kebudayaan Indonesia berhubungan dengan zaman prasejarah, mulai dari nenek moyang kita yang membawa kebudayaan Dongson, setelah itu diikuti oleh perkembangan Islam di Indonesia. Jadi islam juga merupakan salah satu akar kebudayaan Indonesia.

Berikut ini ringkasan mengenai sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dari tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Situasi Akar Budaya Kita”:

Nenek moyang kita adalah bagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak di zaman lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang dari layar sejarah, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah Balkan sekitar laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan.

Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan itu adalah orang Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin termasuk orang Teuton, yang memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa. Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.

Nenek moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di daerah Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa banyak ornamentik yang dekoratif. Dari pendatang-pendatang baru ini mereka mengambil alih, menerima, dan mencernakan seni ornamentik pendatang-pendatang dari barat ini. Tidak saja dalam ornamentik, akan tetapi juga dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan antara hiasan tenun Indonesia dan Balkan umpamanya), dan juga dalam musik dan nyayian. Jaap Kunst, seorang ahli musik, juga ahli musik Indonesia mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau Flores dengan nyanyian rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan). Kebudayaan Dongson menunjukkan lebih banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa dibanding budaya Cina.

Nenek moyang Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian mencapai Nusantara. Di Nusantara hampir tidak ada perpisahan antara zaman perunggu dan zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di Indo Cina. Dalam penggalian situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan bersama-sama. Hulu pisau dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris Majapahit. Bentuk hulu pisau yang serupa juga ditemukan di Holstein (Jerman), Denmark, dan di Kauskasus.

Tetapi, sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-kelompok manusia lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir, kurang lebih 15.000 tahun sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara menunjukkan bahwa sebagian besar Nusantara bagian barat menyatu dengan daratan Asia Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan wilayah yang kini laut Jawa. Ketika es berakhir, permukaan laut naik kembali, dan terbentuklah gugusan pulau-pulau seperti yang kita kenal kini. Sejarah bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada perkembangan manusia Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang kurang lebih 1000 tahun sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip tua Hebrew dari masa akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah menyebut perdagangan kulit manis dari berbagai tempat sepanjang pantai timur Afrika.

Sebuah naskah Arab dari abad ke 13 menceritakan masuknya orang Melayu-Polinesia ke belahan barat Samudera Hindia. Naskah itu mengatakan bahwa di masa mundurnya Kerajaan Fira’un di Mesir, tempat yang bernama Aden, yang menguasai jalan masuk ke laut Merah (yang masa itu merupakan tempat penduduk nelayan), telah direbut oleh orang Qumr (Melayu-Polinesia) yang datang dengan armada yang terdiri dari perahu-perahu yang memakai cadik. Mereka mengusir penduduk setempat, membangun berbagai monumen dan memilihara hubungan langsung dengan pulau Madagaskar dan Asia Tenggara. Para ahli sejarah menyebutkan hal itu mungkin terjadi di masa Nabi Isa masih hidup. Untuk masa yang cukup lama orang Melayu-Polinesia menguasai pelayaran dan perdagangan lewat Samudera Hindia dari Asia Tenggara ke pintu Laut Merah, sepanjang pantai timur Afrika dan Pulau Madagaskar.

Dalam melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya ke Madagaskar dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan barat pulau itu. Hingga kini masih terlihat berbagai persamaan kata antara bahasa Madagaskar dan bahasa suku Manyaan di Kalimantan. Ke timur, nenek moyang Melayu-Polinesia ini berlayar jauh ke pedalaman pasifik, menetap di berbagai kepulauan, dan mereka paling ke timur mencapai Easter Island, pulau terjauh ke timur dari Nusantara.

Jelaslah bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah, ke masa silam yang begitu jauhnya, hingga telah lenyap dari ingatan bangsa kita. Jelas pula bahwa kita telah mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu, di samping nenek moyang kita telah memberi pula sumbangan pada budaya-budaya bangsa lain di seberang Samudera Hindia, serta menciptakan berbagai budaya di Madagaskar, dan di kepulauan-kepulauan Samudera Pasifik.

Mengingat ini kembali, apakah kita kini, sebagai pewaris langsung dari mereka, harus merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya tidak! Kita harus berani memeriksa diri secara cermat. Apa kekurangan-kekurangan kita kini, hingga kita tidak memiliki kemampuan, keberanian dan daya cipta untuk berbuat yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia hari ini?

Proses melalui zaman Mesolitik mencapai zaman Neolitik mungkin terjadi kurang lebih 3500-2500 tahun sebelum Nabi Isa. Ketika itu mereka mulai tinggal bersama dalam komunitas-komunitas kecil dan mulai mengembangkan pertanian dan sistem pengairan. Di zaman ini berkembang akar budaya musyawarah Indonesia, karena di kala itu belum ada kepala dan raja, dan semuanya masih dimusyawarahkan oleh semua anggota komunitas, dipimpin oleh orang-orang yang lebih tua. Wanita ikut bermusyawarah, dan anak-anak boleh hadir dan ikut mendengar. Di suku Sakudei di pulau Mentawai, seorang peneliti Swiss melaporkan bahwa dia masih menemukan tradisi musyawarah yang lama itu.

Akar budaya kita juga tumbuh dalam kepercayaan bahwa segala yang ada di bumi memiliki ”ruh-ruh” sendiri. Ruh manusia adalah saudaranya, yang dapat melepaskan diri dari dalam badan seseorang, dan ruh itu dapat mengalami bencana dalam petualangannya di luar tubuh kita, yang dapat mengakibatkan yang punya tubuh jatuh sakit atau mati. Manusia harus berbaik-baik dalam hubungannya dengan dunia roh ini.

Selanjutnya nenek moyang kita di masa Megalitik itu memiliki konsep hubungan dan pertentangan antara dunia atas dan dunia bawah. Dalam upacara-upacara khusus, mereka membangun megalith-megalith dengan tujuan melindungi ruh dari bahaya-bahaya yang datang dari dunia bawah, untuk menjadi penghubung antara yang hidup dan yang telah mati, dan untuk mengabadikan kekuatan-kekuatan magis mereka yang membangun megalith-megalith tersebut, atau untuk siapa batu-batu itu dibangun. Megalith-megalith dibangun untuk memperkuat kesuburan manusia, ternak dan apa yang mereka tanam, dan dengan demikian memperbesar kekayaan generasi-generasi yang akan datang.

Kebudayaan Megalitik ini kemudian dimasuki oleh budaya Dongson yang membawa teknologi perunggu dan besi, dan memberikan nafas dan kekuatan serta daya cipta baru pada kelompok-kelompok budaya di Nusantara. Diperkirakan pula bahwa budaya Dongson membawa teknologi bertanam padi di sawah. Teknologi padi sawah mendorong komunitas-komunitas kecil untuk lebih berintegrasi mengembangkan dan memilihara sistem pengairan, koordinasi bertanam serempak pada waktu yang sama. Dalam proses sejarah, teknologi padi sawah ini telah mendorong proses integrasi masyarakat-masyarakat desa Indonesia yang hingga kini tumpuan kehidupan terbesar bangsa kita. Ia juga erat hubungannya dengan irama iklim, datang musim kering dan musim hujan, yang mempengaruhi pola kehidupan di Indonesia. Musim panen merupakan musim perkawinan umpamanya.

Pemujaan nenek moyang merupakan salah satu akar budaya bangsa Indonesia. Pandangan kosmik mengenai kontradiksi antara dunia bawah dan dunia atas tercermin dalam organisasi sosial berbagai suku bangsa kita; garis ibu dan garis ayah, hubungann dasar antara dua suku yang saling mengambil laki-laki dan perempuan dari dua suku untuk perkawinan, membuat tiada satu suku lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Setiap suku bergantian menduduki tempat yang superior dan tempat di bawah. Struktur tradisi kesukuan ini merupakan sebuah mekanisme ke arah demokrasi, yang seandainya kita pandai mengembangkannya dapat merupakan kekuatan untuk tradisi demokrasi bangsa kita.

Datangnya agama Budha, Hindu dan Islam, bangkitnya feodalisme, lalu datang orang Eropa membawa penindasan penjajah, dan agama Nasrani, lalu lewat pendidikan Barat masuk pula ilmu pengetahuan modern dan tekonologi modern telah mendorong berbagai proses kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan budaya, yang akhirnya membawa manusia Indonesia pada keadaan hari ini.

Akar budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya tanpa kita sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya feodalisme di Indonesia dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan kecil telah mengubah hubungan antara kekuasaan dan manusia atau anggota masyarakat. Penjajahan Belanda menggunakan sistem menguasai dan memerintah melalui kelas bangsawan atau feodal lama Indonesia telah meneruskan tradisi feodal berlangsung terus dalam masyarakat kita. Malahan setelah Indonesia merdeka, hubungan-hubungan diwarnai nilai-nilai feodalisme masih berlangsung terus, hingga sering kita mengatakan bahwa kita kini menghadapi neo-feodalisme dalam bentuk-bentuk baru.

Semua pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang datang dari Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkritisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa banyak konflik dalam jiwa dan diri kita.

Sesuatu terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu memisahkan yang satu dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana yang bayangan, mana yang kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata. Malahan banyak orang kini membuat ilmu dan teknologi jadi takhyul dalam arti, orang percaya bahwa ilmu dan teknologi dapat menyelesaikan semua masalah manusia di dunia. Dan ada yang berbuat sebaliknya.

Kita jadi tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal. Karena itu beramai-ramai dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi besar-besaran, dan tidak merasa bersalah sama sekali (Lubis, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).

2.3 Kebudayaan Barat di Indonesia

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia semakin berkembang pesat. Hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya rakyat Indonesia yang bergaya hidup kebarat-baratan seperti mabuk-mabukkan,clubbing,memakai pakaian mini,bahkan berciuman di tempat umum seperti sudah lumrah di Indonesia. Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif. Proses filtrasi perlu dilakukan sedini mungkin supaya kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia tidak akan merusak identitas kebudayaan nasional bangsa kita. Tetapi bukan berarti kita harus menutup pintu akses bangsa barat yang ingin masuk ke Indonesia, karena tidak semua kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia berpengaruh negatif, tetapi juga ada yang memberi pengaruh positif seperti memajukan perkembangan IPTEK di Indonesia. Prioritas yang perlu kita lakukan terhadap kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia adalah kita harus lebih selektif kepada kebudayaan barat.

Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:

a. Kebudayaan Teknologis Modern

Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.

Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.

b. Kebudayaan Modern Tiruan

Kebudayaan Modern Tiruan terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).

Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.

Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.

Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.

c. Kebudayaan-kebudayaan Barat

Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.

Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).

2.3.1 Dampak Kebudayaan Barat di Indonesia

Dampak kebudayaan barat di Indonesia dicerminkan dalam wujud globalisasi dan modernisasi yang dapat membawa dampak positif dan dampak negatif bagi bangsa kita.

Dampak Positif

a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap

Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.

b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.

c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik

Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dampak Negatif

Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.

a. Pola Hidup Konsumtif

Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.

b. Sikap Individualistik

Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.

c. Gaya Hidup Kebarat-baratan

Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.

d. Kesenjangan Sosial

Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan social menyebabkan adanya jarak antara si kaya dan si miskin sehingga sangat mungkin bias merusak kebhinekaan dan ketunggalikaan Bangsa Indonesia.

2.4 Situasi Budaya di Indonesia

Situasi Budaya Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Pasalnya, semakin banyak kebudayaan Indonesia yang diklaim oleh Negara tetangga kita sendiri yaitu Malasyia. Seperti tari reog ponorogo, dan yang baru akhir-akhir ini terjadi yaitu tari pendet yang diklaim juga oleh Malaysia. Hak paten atas kebudayaan dalam hal ini sangat berperan penting. Pemerintah baru menyadari akan perlunya hak paten tersebut setelah adanya klaim-mengklaim Malaysia terhadap Kebudayaan Indonesia. Menurut saya stabilitas situasi budaya di Indonesia dapat terwujud dengan cara mempublikasikan kebudayaan kita kepada bangsa luar, dengan demikian secara tidak langsung menghak-patenkan kebudayaan kita. Selain itu proses akulturasi yang negatif dapat mempengaruhi situasi budaya di Indonesia semakin memprihatinkan.

Sajiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986 menyampaikan tentang persoalah kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik, hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mnegeluarkan energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab.

Menurut beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya. Pemecahannya harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character Building (Surjohadiprodjo, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).

Mochtar Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun 1986, menyampaikan bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan oleh ciri:

* Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan
* Kemunafikan
* Lemahnya kreativitas
* Etos kerja yang lemah
* Neo-Feodalisme
* Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).

2.4.1 Tantangan-tantangan kebudayaan di Indonesia

1. Kebudayaan Modern Tiruan

Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.

Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas. Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan (Suseno;1992)

2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.

3. Masalah Pendidikan yang Tepat

Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.

4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.

5. Kondisi Alam Global

Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050 mengakibatkan 130 juta penduduk dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga akan mengalami hal yang sama.

Dampak pemanasan global juga dapat berupa meningkatnya permukaan laut, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat. Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan mengakibatkan terusan Panama terbenam.

Naiknya suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai yang selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering makin kering, sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan distribusi air secara alami ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam pemanfaaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan penduduk.

Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah. Perubahan iklim yang tak terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi kemanusiaan.

2.4.2 Bagaimana mempertahankan kebudayaan Indonesia?

Berikut ini adalah cara-cara mempertahankan kebudayaan Indonesia :

* Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
* Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
* Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
* Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
* Selektif terhadap kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia
* Pemerintah harus Menghak-patenkan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia

Daftar Pustaka

www.wikipedia.com

www.google.com

Arifin,Masyhuri.2009.definisi kebudayaan menurut para ahli.google

Ambara,Sughosa.2007.untuk Indonesia.google

Organisasi.org komunitas dan perpustakaan online

Gunawan.2007.fenomena konsep kebudayaan Indonesia.google

S.Brahmana-Kebudayaan Nasional Indonesia

Al-Farisi,Arlan Rudi.2008.pengaruh budaya barat.ISD:google

Bakker, JWM. 1999. ”Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar”. Penerbit Kanisius; Yogyakarta.

Dewantara, Ki Hajar. 1994. ”Kebudayaan”. Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa; Yogyakarta.

Sarjono. Agus R (Editor). 1999. ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita”. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta. Suseno, Franz Magnis. 1992. ”Filsafat Kebudayaan Politik”. Penerbit Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.

RAS MUHAMAD